Kadang kita sendiri tidak mengenal siapa diri kita, dan
menurut aku itulah fasa tersulit dalam proses dinamika kehidupan. Tidak ingin
menghakimi apa itu arti hidup. Karena aku yakin, setiap orang mempunyai definisi
tersendiri untuk memberikan makna tentang hidup. Termasuk aku. Iya, aku. Aku
yang sedang mengalami fasa sulit itu. Sering kali terjadi namun juga tidak
pernah menemukan jawaban apa penyebab aku tidak mengenal diriku sendiri. kadang
sulit untuk dikendalikan. Emosi, pola pikir, seolah-olah menjadi asing bagi
diriku sendiri. Asing karena tidak seperti biasanya. Dan sungguh, aku merasa
tersiksa dengan fasa ini. Aku tersiksa karena atas ketidakmampuanku untuk
mengendalikan diri ketika aku tidak mengenali diriku sendiri. Tersiksa karena
akibat ketidakmampuan ku untuk mengendalikan diri, ada hati lain yang tak
sengaja tergores oleh lisan, atau bahkan mungkin oleh laku perbuatanku.
Astagfirullahal’adzim
Mungkin aku harus lebih mendekatkan diri kepada Sang Pembina
Kehidupan, agar selalu dibina dalam keadaan apapun. Dijaga lisanku, laku
perbuatanku dan pola pikirku.
Aku seharusnya mengerti. Pilihan yang seharusnya bukan sebuah
pilihan, namun tetap saja harus diambil keputusan dari salah satunya. Dan lagi,
tetap saja mengarah kepada pilihan. Aku memang sudah mengambil keputusan,
keputusan yang sangat penuh dengan pertimbangan. Bukan tanpa alasan dan hanya
mengusungkan kata MAU atau TIDAK MAU. Bukan. Pertimbangan yang aku
pertimbangkan tak hanya sekedar atas kebutuhan ku atau ketidakmampuanku, tapi karena
lingkungan sekitarku yang tak bisa aku abaikan atas egoku. Aku tak meminta
siapapun untuk mengerti alasan dan keputusanku, biarkan mereka perang dengan
asumsi mereka masing-masing. Karena bagaimanapun asumsi mereka tidak akan
menyelamatkan dan mengubah semua menjadi mudah.
Aku seharusnya mengerti, Setiap orang mempunyai hak untuk
memilih dan menentukan dengan siapa Ia akan berjalan, dengan siapa Ia merasa
nyaman, dan dengan siapa Ia menentukan jalan yang akan Ia ambil. Aku telah
melakukan hal yang sia-sia dan merugikan diriku sendiri. Merasa tak ada, tak
didengar, asing dan semu. Seolah-olah berjalan
diruang hampa yang ditemani oleh bayanganku sendiri. Tapi bagian hati ku yang
lain mengingatkan, aku harus membuka mata dan hati. Mereka yang ada disekitarku
adalah orang-orang yang menyayangiku dengan cara mereka masing-masing. Maka
dari itu, akupun harus melakukan hal yang sama, menyayangi mereka dengan cara
yang aku bisa lakukan. Rasa cemburu memang bukan sesuatu yang baru dan aneh. Ia
bisa menghampiri kepada siapapun yang tak kuat untuk mendengarkan dirinya, tapi
lebih mendengarkan perasaannya. Tak hanya kepada kekasih. Tapi lingkungan yang lebih dekat: keluarga,
sahabat, teman, kerabat, dsb.
Aku tidak sedang membicarakan siapapun dalam tulisan ini,
kecuali Aku. Aku yang sedang dibicarakan oleh diriku sendiri. Aku yang menjadi
pemeran utama dalam tulisanku ini. Dan kini arah cerita ku cukupkan, karena
pada intinya aku hanya sedang merasa menjadi seperti anak kecil. Cemburu
terhadap situasi disekitarku dengan orang-orang terdekatku. Aku merasa tersiksa
dengan sikapku sendiri. Dan aku mulai menulis untuk menguraikan kalimat demi
kalimat yang sudah memenuhi ruang pikirku. Setidaknya bagian ruang pikirku
sedikit lebih luang untuk menetralisir bagian lainnya yang membakar akal sehat.
Cukup. Cukup untuk aku menyiksa diriku sendiri. Biarkan semua mengalir seperti
seharusnya. Tak perlu dihambat dengan hal-hal yang tidak perlu dipermasalahkan.
Jika permasalahan itu berada pada diri sendiri, maka selesaikan dengan diri sendiri.
Oke, Mel. Mulai berdamailah dengan dirimu sendiri.