Rabu, 04 April 2018

Malam dan Siang




Kau adalah malam
Menyejukan, mendamaikan rumitnya siang
Melerai satu persatu permasalahan
Melengkapi setiap kekosongan
Menjawab setiap tanya

Aku adalah siang
Pelik dengan segala kerumitan
Beresiko dengan segala permasalahan
Terjebak dalam kekosongan
Membuas diri dengan segala tanya

Dengan segala perbedaan,
Yang ku tahu hanya satu,
Aku menyayangimu,
Bagaimanapun kamu,
Dan itu cukup.


Cimahi, 04 April 2018
Terlalu pagi, 00.47

Selasa, 03 April 2018

Hadiahku~


Selama 20 tahun kebelakang, banyak hal yang terjadi, banyak hal yang tak terduga, banyak hal yang mengejutkan, dan semua itu mendewasakan. Layaknya manusia biasa, dengan ritme kehidupan yang hampir sama namun mempunyai keunikan cerita yang berbeda, keluarga, pendidikan, asmara dan lain sebagainya, akupun melewati dan mengalami semua ruang lingkup tersebut. Setiap ruang lingkupnya akan mempunyai tingkatan fasa, melaju dan berganti. Dengan ragam dinamika, membuatnya dapat terasa hidup atau bahkan mati.
Kali ini, aku ingin mengutarakan syukurku melalui tulisan. Karena melalui doa, telah kusampaikan dalam komunikasiku dengan Sang Maha Pecinta, dan aku ulangi disini. Agar kamu, kalian, dan mereka pun dapat menyadari. Aku bilang tak mudah untuk tumbuh dan berkembang hingga diusiaku yang baru menginjak 21 tahun ini. Ada banyak hal-hal yang tak manis telah aku saksikan sejak dini, ada banyak hal yang menguras air mata yang telah aku lalui sejak dini, hingga hal-hal yang membentur dengan begitu keras. Sakit? Jelas. Seperti ada yang patah dan hancur bak robekan kertas-kertas yang amat kecil. Sakit. Rasanya sakit sekali. Bahkan jika aku ingat kembali, sakitnya masih menyisa. Aku pikir, itu adalah cara Tuhan mendewasakanku. Ada sesuatu yang aku dapatkan, sesuatu itu tak dapat aku definisikan dengan sebuah kalimat, bahkan frasa atau kata. Yang jelas, hal tersebut menghidupkan satu sisi lain pandanganku. Caraku melihat dan memahami dunia: alam semesta, kehidupanku dan kehidupan orang-orang disekitarku.
Keluargaku, merupakan hadiah terindah dan lebih spesial dari sisi yang lain buatku. Indah menurut versiku, mungkin akan terlihat berbeda menurut kalian. Tapi syukurku, perjalanan yang tak mudah ini didampingi selalu oleh seseorang yang sangat membangun, jauh lebih dari berarti, separuh dari jiwaku: ibu. Saat ini, itulah keindahan yang aku rasakan, itulah alasan mengapa aku bisa bertahan dalam keadaan sesulit apapun. Semoga akan ada keindahan lainnya yang tercipta dan terbangun.
Sahabatku, tanpa mereka aku hanyalah sebatang kara dalam masa pendidikanku: sekolah. Mereka yang tak dapat aku sebutkan satu persatu, mewarnai perjalanan sekolah dasar hingga sekarang, turut andil dalam rasa syukurku. Naik-turun dinamika persahabatan, aku rasa itu adalah kadar yang membuatnya hidup. Mereka merupakan faktor ekstern yang membangun dan mengajarkan banyak hal dengan ceritanya masing-masing. Menghidupkan sisi pandangku yang telah dikurniakan.
Asmaraku, tak selalu mulus. Berliku, penuh tikungan, tanjakan dan turunan. Sebelumnya, aku tak terlalu tertarik dengan yang satu ini, tapi kali ini aku cukup antusias untuk mengutarakannya. Untuk kesekian kali bangkitnya, aku merasa hadiahku kali ini lebih manis dari kisah asmara sebelumnya. Lebih nyata, dan untuk pertama kalinya membuatku menyertakan namanya dalam doa. Untuk pertama kalinya, menghidupkan harapku untuk kehidupan selanjutnya, untuk pertama kalinya pula, membuatku membiarkannya masuk dalam benteng yang aku jaga dari siapapun. Yang tak pernah sebelumnya aku biarkan orang lain untuk mengetahuinya. Aku tak ingin berlebihan, aku menyayanginya, bagaimanapun. Sesederhana itu. Perihal dia kepadaku, itu hak nya. Aku tak ingin menginterfensi. Aku mensyukuri dengan sangat. Aku berharap, Tuhanku, Yang Maha Baik, mengijinkan doaku menjadi satu kenyataan hidup, bersamanya dalam ikatan yang Kau perkenankan. Aamin. 
Untuk segala terima kasihku yang tak terhingga, kepada Tuhanku, Allah SWT, Yang Maha Baik, Maha Menyayangi, Maha Pemilik segala-galanya, Alhamdulillahirabbil’alamiin. Maka ijinkan aku untuk menjaga, mensyukuri dan mengindahkan hadiah-hadiah yang telah Engkau berikan. Ini semua milikmu, ini semua darimu, aku hanyalah salah satu manusia beruntung yang Kau anugerahkan. Semoga aku menjadi orang yang pandai bersyukur dan tak melupa. Aamiin yaa rabbal’alamiin.

Cimahi, 03 April 2018
00.29, menjelang pagi.

Selasa, 19 April 2016

Listen!





Kadang kita sendiri tidak mengenal siapa diri kita, dan menurut aku itulah fasa tersulit dalam proses dinamika kehidupan. Tidak ingin menghakimi apa itu arti hidup. Karena aku yakin, setiap orang mempunyai definisi tersendiri untuk memberikan makna tentang hidup. Termasuk aku. Iya, aku. Aku yang sedang mengalami fasa sulit itu. Sering kali terjadi namun juga tidak pernah menemukan jawaban apa penyebab aku tidak mengenal diriku sendiri. kadang sulit untuk dikendalikan. Emosi, pola pikir, seolah-olah menjadi asing bagi diriku sendiri. Asing karena tidak seperti biasanya. Dan sungguh, aku merasa tersiksa dengan fasa ini. Aku tersiksa karena atas ketidakmampuanku untuk mengendalikan diri ketika aku tidak mengenali diriku sendiri. Tersiksa karena akibat ketidakmampuan ku untuk mengendalikan diri, ada hati lain yang tak sengaja tergores oleh lisan, atau bahkan mungkin oleh laku perbuatanku. Astagfirullahal’adzim
Mungkin aku harus lebih mendekatkan diri kepada Sang Pembina Kehidupan, agar selalu dibina dalam keadaan apapun. Dijaga lisanku, laku perbuatanku dan pola pikirku.
Aku seharusnya mengerti. Pilihan yang seharusnya bukan sebuah pilihan, namun tetap saja harus diambil keputusan dari salah satunya. Dan lagi, tetap saja mengarah kepada pilihan. Aku memang sudah mengambil keputusan, keputusan yang sangat penuh dengan pertimbangan. Bukan tanpa alasan dan hanya mengusungkan kata MAU atau TIDAK MAU. Bukan. Pertimbangan yang aku pertimbangkan tak hanya sekedar atas kebutuhan ku atau ketidakmampuanku, tapi karena lingkungan sekitarku yang tak bisa aku abaikan atas egoku. Aku tak meminta siapapun untuk mengerti alasan dan keputusanku, biarkan mereka perang dengan asumsi mereka masing-masing. Karena bagaimanapun asumsi mereka tidak akan menyelamatkan dan mengubah semua menjadi mudah.
Aku seharusnya mengerti, Setiap orang mempunyai hak untuk memilih dan menentukan dengan siapa Ia akan berjalan, dengan siapa Ia merasa nyaman, dan dengan siapa Ia menentukan jalan yang akan Ia ambil. Aku telah melakukan hal yang sia-sia dan merugikan diriku sendiri. Merasa tak ada, tak didengar,  asing dan semu. Seolah-olah berjalan diruang hampa yang ditemani oleh bayanganku sendiri. Tapi bagian hati ku yang lain mengingatkan, aku harus membuka mata dan hati. Mereka yang ada disekitarku adalah orang-orang yang menyayangiku dengan cara mereka masing-masing. Maka dari itu, akupun harus melakukan hal yang sama, menyayangi mereka dengan cara yang aku bisa lakukan. Rasa cemburu memang bukan sesuatu yang baru dan aneh. Ia bisa menghampiri kepada siapapun yang tak kuat untuk mendengarkan dirinya, tapi lebih mendengarkan perasaannya. Tak hanya kepada kekasih.  Tapi lingkungan yang lebih dekat: keluarga, sahabat, teman, kerabat, dsb.
Aku tidak sedang membicarakan siapapun dalam tulisan ini, kecuali Aku. Aku yang sedang dibicarakan oleh diriku sendiri. Aku yang menjadi pemeran utama dalam tulisanku ini. Dan kini arah cerita ku cukupkan, karena pada intinya aku hanya sedang merasa menjadi seperti anak kecil. Cemburu terhadap situasi disekitarku dengan orang-orang terdekatku. Aku merasa tersiksa dengan sikapku sendiri. Dan aku mulai menulis untuk menguraikan kalimat demi kalimat yang sudah memenuhi ruang pikirku. Setidaknya bagian ruang pikirku sedikit lebih luang untuk menetralisir bagian lainnya yang membakar akal sehat. Cukup. Cukup untuk aku menyiksa diriku sendiri. Biarkan semua mengalir seperti seharusnya. Tak perlu dihambat dengan hal-hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Jika permasalahan itu berada pada diri sendiri, maka selesaikan dengan diri sendiri. Oke, Mel. Mulai berdamailah dengan dirimu sendiri.


Kamis, 28 Januari 2016

writing 4



Waktu yang ditunggu telah datang. Tiba. Saat yang saya harapkan tiba. Celah yang saya kira lenyap ternyata ada. Tuhan mendengarkan harapan kecil saya. Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya untuk memasuki celah tersebut. Saya merasa menjadi bukan penikmat kesempatan yang baik. Padahal Saya ingin berdiri paling depan untuk menyambut kedatangan nya. Saya ingin menjadi pendengar untuk mendengarkan keluh kesah dan bahagianya. Saya ingin menjadi bahu untuk tempatnya bersandar, bercerita, istirahat sejenak dari semua rutinitas dan lelah yang menyerangnya. Saya ingin, saya berharap. Tapi saya tidak tahu harus mulai dari mana, atau mungkin tidak akan dimulai. Kapanpun waktunya dan bagaimanapun keadaannya, hati ini akan selalu menerima dan menyambutnya.
Semoga Sang Pemilik raga ini memberikan kehendak atas apa yang saya jatuhkan hati karena-NYA. Karena untuk-NYA, untuk ku dan untuk ku perkenalkan menjadi yang terbaik kepada cinta sejatiku-Ibu. Hati saya berkata dia lah orang yang tepat. Dan saya harap ini bukan hanya sekedar timbul  dari subjektifisme saya, dan yang jauh lebih saya semogakan, hati ini berkata atas perkenaan Sang Pemiliknya.
Sampai berjumpa dalam terwujudnya semoga yang selalu saya panjatkan, kamu dengan kaos putih dan bertopi hitam yang tersenyum disamping saya.

Senin, 29 Juni 2015

Writing 2



12 hari nya di bulan Ramadhan. Alhamdulillah, berkah ramadhan tahun ini menyatukan kembali sebuah keluarga kecil. Setidaknya saya bisa sedikit merasa lega, karena jagoan saya yang sekarang beranjak remaja bisa merasakan kembali kehangatan bersama ayah dan ibu nya selama bertahun-tahun mereka terpisah atas satu dan lain hal. Mata ini selalu panas jika mengingat dia, jagoan kecil saya yang tumbuh tanpa kedua orang tua disampingnya. Miris, kesal, sakit bercampur aduk karena saya tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa saya lakukan saat itu adalah mencoba memahami, membuatnya tidak merasa sendiri, dan memberikan apa yang bisa saya berikan. Saya menyayangi dia seperti adik bahkan anak, walaupun saya sendiri belum mengalami bagaimana menjadi seorang ibu. Perih, sudah tidak bisa dideskripsikan dengan sebuah bahasa. Seharusnya dimasa-masa ke-emasan nya dia mendapatkan apa yang seharusnya di usia dia dapatkan = kasih sayang, bimbingan, dan nasihat orang tua. Saya coba berikan itu, semampu yang saya bisa walau kadang pertengkaran kecil selalu timbul karena saya belum cukup sabar menghadapi dia yang begitu nakal. Saya maklumi, saya pahami, sikap nya yang seperti itu bukan kesalahan dia. Dia tinggal bersama kami, saya, ibu dan Alm.bapak. Meskipun kami mencoba memberikan apa yang dia butuhkan secara materi maupun moral, namun tetap saja rasa nya berbeda. Ya, saya paham itu.
            Pada suatu ketika saya pun harus pergi. Keluar dari ketek orang tua, belajar hidup ditanah orang, dan belajar berdiri dikaki sendiri. Meninggalkan ibu, bapak dan juga dia. Itu yang sebenarnya yang membuat saya berat dan menjadi beban batin-moral untuk saya. Selama 3 tahun saya mengenyam pendidikan sekolah menengah atas, selama itu pula rasa khawatir selalu hidup dalam bagian pikiran saya. Khawatir akan perkembangan nya, pergaulan dan segala hal yang membuat saya merasa bersalah telah pergi. Kadang pun saya merasa egois, tapi ini pilihan yang telah saya ambil dan harus diselesaikan.  Diluar, saya bisa melihat apa yang belum saya lihat sebelumnya, sesuatu yang berharga dan sedikit memperbaiki pandangan dan sikap hidup saya. Cara untuk tetap tangguh dalam segala kondisi, menyikapi hidup yang begitu keras membentur bahkan bagaimana cara memperlakukan orang-orang disekitar. Meskipun belum semua saya kuasai, tapi bertahap saya pahami dan pelajari untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Dan dari situ saya merasa punya tanggung jawab terhadap keponakan-keponakan saya, termasuk dia, Adi. Setiap kali pulang ke tanah kelahiran, setiap itu pula saya manfaatkan untuk mengaplikasikan apa yang bisa saya lakukan dari hasil yang telah saya pelajari setahap demi setahap pada diri, keluarga dan lingkungan. Begitu banyak cerita ditanah ini ketika saya tinggalkan. Adi, Ayu, Rosi, Rifai dan Hariri. Ketika berkumpul mereka lah yang selalu meramaikan rumah, membuat rumah sedikit normal dan hidup.. tapi kini saya kehilangan peri-peri kecil itu. Sedih, kini rumah sunyi kembali dan Adi tinggal bersama nenek dari ibu nya. Saya melihat dan membaca tulisan Adi yang sedikit tidak jelas terpampang di dinding kamar, dia menulis “Aku tinggal dirumah ini bersama umi, mbah, dan ibi. Tapi sayang sekarang ibi pergi meninggalkan kami. Aku rindu ibi.” Seketika hati saya runtuh, entah ini runtuh sedih atau haru tapi rasanya runtuh hancur dan mata saya pun menjadi panas. Saya  tidak menyangka, seorang Adi kecil yang dikenal sulit jinak dan galak bisa menulis kalimat seperti itu. Betapa orang-orang salah menilai dia. Sekali lagi saya katakan, sikapnya yang seperti itu bukan kesalahan dia.
3 tahun berlalu dan perubahan terus terjadi. Terus. Mengikuti alur skenario yang telah dirancang oleh sang Maha Agung. Adi, Ayu, Rosi, Rifai dan Hariri. Mereka sekarang sudah tumbuh tinggi, bahkan setara dan bisa lebih tinggi dari saya. Tapi entah kenapa saya lebih terfokus pada Adi. Mungkin karena dia yang membutuhkan lebih. Saya takut, khawatir. Setiap kali dalam perjalanan saya melihat anak-anak seusianya berlarian kesana kemari dari bus ke bus, angkot ke angkot, lampu merah ke lampu merah, demi selembar ataupun sekoin recehan untuk kebutuhan mereka. Saya teringat Adi, saya berdoa agar dia tidak sepedih itu dan saya ingin berusaha memberikan apa yang dia butuhkan. Dilain tempat, saya pun pernah melihat anak-anak seuisanya berjejer nongkrong dipinggir jalan dengan batang rokok yang mereka hisap, sakit, lagi saya teringat Adi. Saya berdoa, meskipun diluar bimbingan orang tua nya mudah-mudahan dia selalu berada dalam bimbingan Allah SWT agar terhindar dari hal-hal yang saya takutkan tersebut, lagi saya berbicara pada diri, saya ingin berusaha membantu dalam perkembangan sikapnya, apapun yang bisa saya bantu walau dengan cara pendekatan yang lain. Apapun yang saya lihat pada anak-anak se-usia dia yang tidak selayaknya, saya berdoa dan berharap itu tidak terjadi pada dirinya.
            Alhamdulillah, meskipun ramadhan 2 tahun ini Alm.bapak tidak berada disamping kami, tapi saya yakin beliau tersenyum haru melihat Adi sudah bersama ayah dan ibu nya lagi. Dan sekarang Adi sedikit lebih paham untuk bersikap, sudah tidak seperti Adi kecil dulu, meskipun kami masih harus memperbaiki sikap kami. Mudah-mudahan kehangatan ini akan tetap bertahan dan semakin erat hingga batas waktu yang ditentukan sang Perancang Kehidupan. Dan untuk Alm.bapak, mudah-mudahan beliau pun mendapatkan berkah ramadhan yang sama, meski dengan cara berbeda dan ditempat yang berbeda.  
Kami semua merindukan mu, Pak. Selamat beristirahat dari kehidupan duniawi, mudah-mudahan bapak selalu dibimbing oleh sang Maha Agung Tiada Tanding dalam perjalanan bapak untuk mencapai tujuan disana. Di kehidupan yang sesungguhnya. Amin

Jumat, 26 Juni 2015

Menepuk angin



Muncul lagi. Tapi bukan dengan binar-binar keyakinan yang semakin kuat.

Seperti malam yang kehilangan bulan dan bintang

Seperti pagi yang kehilangan fajar untuk bersinar

Seperti pantai yang hampa tanpa deburan sang ombak

Seperti itu lah aku kehilangan kekuatan untuk bertahan

Kini aku sadar hanya menepuk angin, keras... sangat keras

Namun hampa tanpa suara

Sunyi... sepi... hanya ada aku,angin dan malam ini

Seolah malam merasakan apa yang aku rasakan

Dan angin mengiba seperti aku lah yang sangat menyedihkan

Harusnya tidak begini, tidak seperti ini

Aku kembali tersenyum, tersenyum dengan hati

Berbicara kepadanya bahwa aku masih memiliki jalan yang harus aku lalui

Tidak hanya terdiam, meratapi, dan bersembunyi...

Aku harus melihat apa yang harus aku lihat

Menempuh apa yang harus aku tempuh

Dan merasakan apa yang harus aku rasakan

Bukan hanya tentang siapa yang aku tepuk dan siapa yang akan menepuk tangan


Jumat, 26 Juni 2015
A

Senin, 22 Juni 2015

Writing...



Masih..
Masih dalam kondisi yang sama, menyemogakan ketidakmungkinan. Masih dengan orang yang sama, hati yang sama dan cerita yang sama. Saya tidak berharap sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada-nya, pada mereka. Tapi, jika pun itu terjadi saya siap berdiri paling depan untuk menyambut kehadiran tokoh yang nantinya akan menjalankan alur cerita yang sama. Semoga. Kalaupun tidak terjadi, saya harus terima dan memahami bahwa memang bukan Dia yang dilahirkan untuk menjadi aktor penyempurna cerita saya...

Sekarang saya bisa melihat dinding yang kokoh menjulang tinggi dan sulit untuk dilewati, kecuali jika saya punya pintu kemana saja yang dimiliki oleh Doraemon atau sapu terbang yang dimiliki oleh Herry Potter. Hahah...semua itu hanya ada didalam sebuah cerita fiksi,dongeng, dan terdengar konyol. Mungkin hanya hidup dalam sebuah ilusi. Ya, cerita yang saya semogakan ini mungkin hanya hidup dalam sebuah ilusi . Walaupun saya meyakinkan diri bahwa slogan Nothing is impossible itu ada dan menjadi mantra yang ampuh bagi ilusi saya namun tetap saja saya tidak bisa melewati dinding tersebut. 

Kuat... terlalu kuat...
Saya tidak bisa. Saya tidak sanggupp. Tapi ingin tetap bertahan. Celah itu sangat kecil, bahkan hampir tidak terlihat. Bahkan waktu pun tidak menyediakan kesempatan untuk sekedar mengenalkan kami, setidaknya tidak hanya saya sendirian tapi juga Dia. Mungkin pertahanan ini akan sia-sia, tapi tetap saya bertahan dengan keyakinan saya hingga jalan benar-benar menunjukan arah yang lain. Pergi, melanjutkan perjalanan dan membiarkan-nya bersama pilihan terbaiknya.