Senin, 29 Juni 2015

Writing 2



12 hari nya di bulan Ramadhan. Alhamdulillah, berkah ramadhan tahun ini menyatukan kembali sebuah keluarga kecil. Setidaknya saya bisa sedikit merasa lega, karena jagoan saya yang sekarang beranjak remaja bisa merasakan kembali kehangatan bersama ayah dan ibu nya selama bertahun-tahun mereka terpisah atas satu dan lain hal. Mata ini selalu panas jika mengingat dia, jagoan kecil saya yang tumbuh tanpa kedua orang tua disampingnya. Miris, kesal, sakit bercampur aduk karena saya tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa saya lakukan saat itu adalah mencoba memahami, membuatnya tidak merasa sendiri, dan memberikan apa yang bisa saya berikan. Saya menyayangi dia seperti adik bahkan anak, walaupun saya sendiri belum mengalami bagaimana menjadi seorang ibu. Perih, sudah tidak bisa dideskripsikan dengan sebuah bahasa. Seharusnya dimasa-masa ke-emasan nya dia mendapatkan apa yang seharusnya di usia dia dapatkan = kasih sayang, bimbingan, dan nasihat orang tua. Saya coba berikan itu, semampu yang saya bisa walau kadang pertengkaran kecil selalu timbul karena saya belum cukup sabar menghadapi dia yang begitu nakal. Saya maklumi, saya pahami, sikap nya yang seperti itu bukan kesalahan dia. Dia tinggal bersama kami, saya, ibu dan Alm.bapak. Meskipun kami mencoba memberikan apa yang dia butuhkan secara materi maupun moral, namun tetap saja rasa nya berbeda. Ya, saya paham itu.
            Pada suatu ketika saya pun harus pergi. Keluar dari ketek orang tua, belajar hidup ditanah orang, dan belajar berdiri dikaki sendiri. Meninggalkan ibu, bapak dan juga dia. Itu yang sebenarnya yang membuat saya berat dan menjadi beban batin-moral untuk saya. Selama 3 tahun saya mengenyam pendidikan sekolah menengah atas, selama itu pula rasa khawatir selalu hidup dalam bagian pikiran saya. Khawatir akan perkembangan nya, pergaulan dan segala hal yang membuat saya merasa bersalah telah pergi. Kadang pun saya merasa egois, tapi ini pilihan yang telah saya ambil dan harus diselesaikan.  Diluar, saya bisa melihat apa yang belum saya lihat sebelumnya, sesuatu yang berharga dan sedikit memperbaiki pandangan dan sikap hidup saya. Cara untuk tetap tangguh dalam segala kondisi, menyikapi hidup yang begitu keras membentur bahkan bagaimana cara memperlakukan orang-orang disekitar. Meskipun belum semua saya kuasai, tapi bertahap saya pahami dan pelajari untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Dan dari situ saya merasa punya tanggung jawab terhadap keponakan-keponakan saya, termasuk dia, Adi. Setiap kali pulang ke tanah kelahiran, setiap itu pula saya manfaatkan untuk mengaplikasikan apa yang bisa saya lakukan dari hasil yang telah saya pelajari setahap demi setahap pada diri, keluarga dan lingkungan. Begitu banyak cerita ditanah ini ketika saya tinggalkan. Adi, Ayu, Rosi, Rifai dan Hariri. Ketika berkumpul mereka lah yang selalu meramaikan rumah, membuat rumah sedikit normal dan hidup.. tapi kini saya kehilangan peri-peri kecil itu. Sedih, kini rumah sunyi kembali dan Adi tinggal bersama nenek dari ibu nya. Saya melihat dan membaca tulisan Adi yang sedikit tidak jelas terpampang di dinding kamar, dia menulis “Aku tinggal dirumah ini bersama umi, mbah, dan ibi. Tapi sayang sekarang ibi pergi meninggalkan kami. Aku rindu ibi.” Seketika hati saya runtuh, entah ini runtuh sedih atau haru tapi rasanya runtuh hancur dan mata saya pun menjadi panas. Saya  tidak menyangka, seorang Adi kecil yang dikenal sulit jinak dan galak bisa menulis kalimat seperti itu. Betapa orang-orang salah menilai dia. Sekali lagi saya katakan, sikapnya yang seperti itu bukan kesalahan dia.
3 tahun berlalu dan perubahan terus terjadi. Terus. Mengikuti alur skenario yang telah dirancang oleh sang Maha Agung. Adi, Ayu, Rosi, Rifai dan Hariri. Mereka sekarang sudah tumbuh tinggi, bahkan setara dan bisa lebih tinggi dari saya. Tapi entah kenapa saya lebih terfokus pada Adi. Mungkin karena dia yang membutuhkan lebih. Saya takut, khawatir. Setiap kali dalam perjalanan saya melihat anak-anak seusianya berlarian kesana kemari dari bus ke bus, angkot ke angkot, lampu merah ke lampu merah, demi selembar ataupun sekoin recehan untuk kebutuhan mereka. Saya teringat Adi, saya berdoa agar dia tidak sepedih itu dan saya ingin berusaha memberikan apa yang dia butuhkan. Dilain tempat, saya pun pernah melihat anak-anak seuisanya berjejer nongkrong dipinggir jalan dengan batang rokok yang mereka hisap, sakit, lagi saya teringat Adi. Saya berdoa, meskipun diluar bimbingan orang tua nya mudah-mudahan dia selalu berada dalam bimbingan Allah SWT agar terhindar dari hal-hal yang saya takutkan tersebut, lagi saya berbicara pada diri, saya ingin berusaha membantu dalam perkembangan sikapnya, apapun yang bisa saya bantu walau dengan cara pendekatan yang lain. Apapun yang saya lihat pada anak-anak se-usia dia yang tidak selayaknya, saya berdoa dan berharap itu tidak terjadi pada dirinya.
            Alhamdulillah, meskipun ramadhan 2 tahun ini Alm.bapak tidak berada disamping kami, tapi saya yakin beliau tersenyum haru melihat Adi sudah bersama ayah dan ibu nya lagi. Dan sekarang Adi sedikit lebih paham untuk bersikap, sudah tidak seperti Adi kecil dulu, meskipun kami masih harus memperbaiki sikap kami. Mudah-mudahan kehangatan ini akan tetap bertahan dan semakin erat hingga batas waktu yang ditentukan sang Perancang Kehidupan. Dan untuk Alm.bapak, mudah-mudahan beliau pun mendapatkan berkah ramadhan yang sama, meski dengan cara berbeda dan ditempat yang berbeda.  
Kami semua merindukan mu, Pak. Selamat beristirahat dari kehidupan duniawi, mudah-mudahan bapak selalu dibimbing oleh sang Maha Agung Tiada Tanding dalam perjalanan bapak untuk mencapai tujuan disana. Di kehidupan yang sesungguhnya. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar