12 hari nya di
bulan Ramadhan. Alhamdulillah, berkah ramadhan tahun ini menyatukan kembali
sebuah keluarga kecil. Setidaknya saya bisa sedikit merasa lega, karena jagoan
saya yang sekarang beranjak remaja bisa merasakan kembali kehangatan bersama
ayah dan ibu nya selama bertahun-tahun mereka terpisah atas satu dan lain hal.
Mata ini selalu panas jika mengingat dia, jagoan kecil saya yang tumbuh tanpa
kedua orang tua disampingnya. Miris, kesal, sakit bercampur aduk karena saya
tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa saya lakukan saat itu adalah mencoba
memahami, membuatnya tidak merasa sendiri, dan memberikan apa yang bisa saya
berikan. Saya menyayangi dia seperti adik bahkan anak, walaupun saya sendiri
belum mengalami bagaimana menjadi seorang ibu. Perih, sudah tidak bisa
dideskripsikan dengan sebuah bahasa. Seharusnya dimasa-masa ke-emasan nya dia
mendapatkan apa yang seharusnya di usia dia dapatkan = kasih sayang, bimbingan,
dan nasihat orang tua. Saya coba berikan itu, semampu yang saya bisa walau
kadang pertengkaran kecil selalu timbul karena saya belum cukup sabar
menghadapi dia yang begitu nakal. Saya maklumi, saya pahami, sikap nya yang seperti
itu bukan kesalahan dia. Dia tinggal bersama kami, saya, ibu dan Alm.bapak.
Meskipun kami mencoba memberikan apa yang dia butuhkan secara materi maupun
moral, namun tetap saja rasa nya berbeda. Ya, saya paham itu.
Pada suatu ketika saya pun harus
pergi. Keluar dari ketek orang tua, belajar hidup ditanah orang, dan belajar
berdiri dikaki sendiri. Meninggalkan ibu, bapak dan juga dia. Itu yang
sebenarnya yang membuat saya berat dan menjadi beban batin-moral untuk saya.
Selama 3 tahun saya mengenyam pendidikan sekolah menengah atas, selama itu pula
rasa khawatir selalu hidup dalam bagian pikiran saya. Khawatir akan
perkembangan nya, pergaulan dan segala hal yang membuat saya merasa bersalah
telah pergi. Kadang pun saya merasa egois, tapi ini pilihan yang telah saya
ambil dan harus diselesaikan. Diluar,
saya bisa melihat apa yang belum saya lihat sebelumnya, sesuatu yang berharga
dan sedikit memperbaiki pandangan dan sikap hidup saya. Cara untuk tetap
tangguh dalam segala kondisi, menyikapi hidup yang begitu keras membentur
bahkan bagaimana cara memperlakukan orang-orang disekitar. Meskipun belum semua
saya kuasai, tapi bertahap saya pahami dan pelajari untuk diaplikasikan dalam
kehidupan. Dan dari situ saya merasa punya tanggung jawab terhadap
keponakan-keponakan saya, termasuk dia, Adi. Setiap kali pulang ke tanah kelahiran,
setiap itu pula saya manfaatkan untuk mengaplikasikan apa yang bisa saya
lakukan dari hasil yang telah saya pelajari setahap demi setahap pada diri,
keluarga dan lingkungan. Begitu banyak cerita ditanah ini ketika saya
tinggalkan. Adi, Ayu, Rosi, Rifai dan Hariri. Ketika berkumpul mereka lah yang
selalu meramaikan rumah, membuat rumah sedikit normal dan hidup.. tapi kini
saya kehilangan peri-peri kecil itu. Sedih, kini rumah sunyi kembali dan Adi
tinggal bersama nenek dari ibu nya. Saya melihat dan membaca tulisan Adi yang
sedikit tidak jelas terpampang di dinding kamar, dia menulis “Aku tinggal
dirumah ini bersama umi, mbah, dan ibi. Tapi sayang sekarang ibi pergi
meninggalkan kami. Aku rindu ibi.” Seketika hati saya runtuh, entah ini runtuh
sedih atau haru tapi rasanya runtuh hancur dan mata saya pun menjadi panas.
Saya tidak menyangka, seorang Adi kecil yang
dikenal sulit jinak dan galak bisa menulis kalimat seperti itu. Betapa
orang-orang salah menilai dia. Sekali lagi saya katakan, sikapnya yang seperti itu
bukan kesalahan dia.
3 tahun berlalu
dan perubahan terus terjadi. Terus. Mengikuti alur skenario yang telah
dirancang oleh sang Maha Agung. Adi, Ayu, Rosi, Rifai dan Hariri. Mereka
sekarang sudah tumbuh tinggi, bahkan setara dan bisa lebih tinggi dari saya.
Tapi entah kenapa saya lebih terfokus pada Adi. Mungkin karena dia yang
membutuhkan lebih. Saya takut, khawatir. Setiap kali dalam perjalanan saya
melihat anak-anak seusianya berlarian kesana kemari dari bus ke bus, angkot ke
angkot, lampu merah ke lampu merah, demi selembar ataupun sekoin recehan untuk
kebutuhan mereka. Saya teringat Adi, saya berdoa agar dia tidak sepedih itu dan
saya ingin berusaha memberikan apa yang dia butuhkan. Dilain tempat, saya pun
pernah melihat anak-anak seuisanya berjejer nongkrong dipinggir jalan dengan
batang rokok yang mereka hisap, sakit, lagi saya teringat Adi. Saya berdoa,
meskipun diluar bimbingan orang tua nya mudah-mudahan dia selalu berada dalam
bimbingan Allah SWT agar terhindar dari hal-hal yang saya takutkan tersebut,
lagi saya berbicara pada diri, saya ingin berusaha membantu dalam perkembangan
sikapnya, apapun yang bisa saya bantu walau dengan cara pendekatan yang lain. Apapun
yang saya lihat pada anak-anak se-usia dia yang tidak selayaknya, saya berdoa
dan berharap itu tidak terjadi pada dirinya.
Alhamdulillah, meskipun ramadhan 2
tahun ini Alm.bapak tidak berada disamping kami, tapi saya yakin beliau
tersenyum haru melihat Adi sudah bersama ayah dan ibu nya lagi. Dan sekarang
Adi sedikit lebih paham untuk bersikap, sudah tidak seperti Adi kecil dulu, meskipun
kami masih harus memperbaiki sikap kami. Mudah-mudahan kehangatan ini akan
tetap bertahan dan semakin erat hingga batas waktu yang ditentukan sang
Perancang Kehidupan. Dan untuk Alm.bapak, mudah-mudahan beliau pun mendapatkan
berkah ramadhan yang sama, meski dengan cara berbeda dan ditempat yang berbeda.
Kami semua
merindukan mu, Pak. Selamat beristirahat dari kehidupan duniawi, mudah-mudahan
bapak selalu dibimbing oleh sang Maha Agung Tiada Tanding dalam perjalanan
bapak untuk mencapai tujuan disana. Di kehidupan yang sesungguhnya. Amin